Senin, 31 Oktober 2011

Tugas Mata Kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar tentang Keraton Kasepuhan Cirebon




MAKALAH
KERATON KASEPUHAN CIREBON
SEBAGAI BENTUK AKULTURASI KEBUDAYAAN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah : Ilmu Sosial dan Budaya Dasar
Dosen : Agus Supriyadi, S. Pd, M. Si





Disusun Oleh :
Moh. Tegar Afandi
Kelas : 1G
NPM            : 111 060 322



UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
Jalan Terusan Pemuda No. 1 A
2011

                                                                                 





KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Keraton Kasepuhan Cirebon Sebagai Bentuk Akulturasi Kebudyaan”.
            Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar dan sebagai persyaratan penilaian dalam Ujian Tengah Semester.
            Dalam penyusunan makalah penulis merasa masih banyak kekurangan baik secara teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan dalam penyusunan karya tulis selanjutnya.
            Selain itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, sehingga penyusunan makalah ini dapat terselesaikan.
            Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.




Cirebon, Oktober 2011


Penulis


 i







DAFTAR ISI

            KATA PENGANTAR    ……….………………………………………………………………………     i
            DAFTAR ISI    ……….………………………………………………………………………………..     ii
            BAB I              PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang Masalah ……….………………………………….      1
1.2    Tujuan Penulisan  ……….…………………………………………...     2
BAB II             LANDASAN TEORI
2.1    Rancangan Penulisan  ……….……………………………………..     4
BAB III                        PEMBAHASAN
3.1    Sejarah Singkat Keraton Kasepuhan Cirebon  …………..      5
3.2    Wujud Akulturasi dalam Keraton Kasepuhan  ………….       5
3.3    Tradisi di Keraton Kasepuhan  …………………………………       7
3.4    Kesultanan Kasepuhan  …………………………………………...      10
BAB IV            PENUTUP
4.1    Kesimpulan  …………………………………………………………….      12
4.2    Saran  ……………………………………………………………………..       12
DAFTAR PUSTAKA     ……………………………………………………………………………...     14





 ii  




BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang Masalah
Cirebon adalah salah satu kota di pesisir jawa barat yang telah berusia lebih dari lima ratus tahun. Dalam sejarahnya istilah “Cirebon” berasal dari kata “Caruban” yang berarti madani atau campuran. Sesuai dengan istilah tersebut, Kota Cirebon tumbuh dengan berbagai budaya yang berkembang di dalamnya.
Letak Cirebon yang berada di pantai pesisir utara Jawa menjadikannya sebagai “Jalur Sutra”, yaitu sebagai tempat persimpangan serta berlabuhnya kapal-kapal asing pada abad ke-empat belas. Hal ini tentu memberikan pengaruh pada kehidupan masyarakat setempat.
Selain itu, secara geografis Cirebon terletak di antara Jawa Tengah dan Jawa Barat sehingga hal ini sangat memungkinkan terjadinya satu kebudayaan yang khas. Dalam hal ini, Cirebon berperan sebagai penghubung antara kebudayaan Sunda dan kebudayaan Jawa.
Pertemuan berbagai kebudayaan asing dengan kebudayaan-kebudayaan lokal menyebabkan terjadinya akulturasi budaya di Cirebon pada saat itu. Di mana jika dibandingkan dengan budaya asalnya sudah megalami berbagai macam perubahan. Sebagai contoh yang dapat kita lihat samapai sekarang adalah beragam bangunan yang berkembang di Cirebon, seperti masjid, keraton, kelenteng, serta berbagai macam bangunan kuno lainnya yang memperlihatkan adanya akulturasi budaya tersebut.
Salah satu bentuk akulturasi yang masih ada serta masih ‘hidup’ sampai sekarang adalah Keraton Kasepuhan. Keraton ini adalah keraton termegah dan paling terawat di kota Cirebon. Arsitektur bangunan dan dekorasi serta interiornya sangat menunjukkan adanya akulturasi dari berbagai kebudayaan.
              Pada abad ke-lima belas, Pangeran Cakrabuwana yakni pendiri pertama dinasti penguasa Cirebon melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Pajajaran yang saat itu masih memeluk kepercayaan agama Hindu-Budha di pedalaman Jawa Barat. Posisinya
  

1





yang saat itu adalah seorang putra mahkota Kerajaan Pajajaran tidak menghalangi niatnya untuk pergi meninggalkan kerajaannya demi menyebarkan ajaran Islam di Jawa Barat. Beliau membangun sebuah kereton yang kemudian diserahkan kepada putrinya Ratu Ayu Pakungwati. Keraton tersebut kemudian diberi nama Keraton Pakungwati (Dalem Agung Pakungwati) sesuai dengan nama sang puteri.
Ratu Ayu Pakungwati kemudian menikah dengan sepupunya Syech Syarif Hidayatullah (putra Ratu Mas Larasantang adik Pangeran Cakrabuwana) yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Kemudian Sunan Gunung Jati dinobatkan sebagai Kepala Negara di Cirebon dan bersemayam di Keraton Pakungwati. Sejak saat itulah Cirebon menjadi pusat pengembangan agama Islam di Jawa, dibantu dengan adanya Wali Sanga yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati sendiri.
Sunan Gunung Jati wafat pada abad ke-enam belas, tahtanya kemudian digantikan oleh cicitnya  Pangeran Emas Moch Arifin. Pangeran Mas Moch Arifin kemudian mendirikan keraton baru di sebelah barat daya Dalem Agung Pakungwati, dan beliaupun mendepat gelar Panembahan Pakungwati I.
Pada sekitar tahun 1549 salah satu peninggalan Sunan Gunung Jati yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa terbakar. Ratu Ayu Pakungwati yang saat itu sudah berusia lanjut turut berusaha memadmkan api. Api pun akhirnya berhasil dipadamkan namun Ratu Ayu Pakungwati kemudian wafat. Semenjak itu nama Pakungwati dimuliakan dan diabadikan oleh anak keturunan Sunan Gunung Jati.
Sekitar tahun 1679, Sultan Badridin (Sultan Anom I) mendirikan sebuah keraton lalu dinamakan Keraton Kanoman. Maka sejak itu Keraton Pakungwati disebut Keraton Kasepuhan dan sultannya bergelar Sultan Sepuh. Kasepuhan sendiri berarti tempat yang tua, jadi antara Kasepuhan dan Kanoman maksudnya adalah yang tua dan yang muda (kakak beradik).

1.1    Tujuan Penulisan
Makalah ini ditulis untuk memberikan gambaran kepada masyarakat Cirebon pada khususnya serta semua kalangan pada umumnya, bahwa nenek moyang kita telah memberikan teladan yang baik tentang bagaimana hidup rukun dalam perbedaan yang beraneka ragam. Maka sepatutnya kita mencontoh teladan tersebut.

 2




Di sini penulis akan menjelaskan beberapa sejarah serta peninggalan-peninggalan dari Keraton Kasepuhan Cirebon. Dengan itu diharapkan pembaca dapat lebih mengetahui sejarah kebudayaan di Keraton Kasepuhan Cirebon. Hal ini juga bertujuan untuk mengajak masyarakat agar tidak melupakan dan tetap melestarikan kebudayaan leluhur, sehingga kebudayaan tersebut tidak punah dan akan selalu ada dari generasi ke generasi.
Di samping itu penulisan ini bertujuan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, sebagai syarat penilaian Ujian Tengah Semester.

















 3





BAB II
LANDASAN TEORI

2.1    Rancangan Penulisan
Dalam menyusun karya tulis ini, penulis menggunakan beberapa metode untuk mendapatkan informasi mengenai Keraton Kasepuhan. Metode-metode yang digunakan yaitu observasi dan wawancara tanya jawab langsung di tempat penelitian, serta dengan mencari informasi dari media elektronik dan media cetak. Adapun susunan metode-metode tersebut diuraikan sebagai berikut :
a)      Observasi
Dalam pelaksanaan penulisan, metode observasi dilakukan yakni dengan terjun langsung ke lapangan. Penulis beserta pembimbing telah mengunjungi Keraton Kasepuhan Cirebon untuk melihat sendiri bagaimana kondisi keraton.
b)     Wawancara dan Tanya Jawab
Melalui metode ini penulis telah melakukan wawancara serta tanya jawab dengan narasumber yang memang ahlinya di bidang kesejarahan Keraton Kasepuhan yaitu para Abdi Dalem (pengurus keraton). Dengan begitu dapat dipastikan bahwa data yang diperoleh adalah akurat dan dapat dibenarkan.
c)      Media Cetak dan Elektronik
Sebagai tambahan, penulis maencari informasi dari media elektronik yaitu dari beberapa situs serta blog internet dan dari media cetak. Setelah informasi didapat selanjutnya dicocokkan dengan data yang diperoleh melalui kedua metode sebelumnya.



  
4






BAB III
PEMBAHASAN

3.1    Sejarah Singkat Keraton Kasepuhan Cirebon
Keraton Kasepuhan pada mulanya bernama Keraton Pakungwati. Keraton ini didirikan oleh Pangeran Cakrabuwana pada sekitar abad kelima belas. Beliau lalu menyerahkan keraton tersebut kepada puterinya yang bernama Ratu Ayu Pakungwati. Karena itu diberi nama Keraton Pakungwati (Dalem Agung Pajungwati).
Ratu Ayu Pakungwati lalu menikah dengan sepupunya Syech Syarif Hidayatullah, yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian dinobatkan sebagai pemimpin negara Cirebon yang pemerintahannya berpusat di Dalem Agung Pakungwati.
Baru pada sekitar tahun 1679 Keraton Pakungwati disebut dengan Keraton Kasepuhan. Alasannya setelah Sunan Gunung Jati wafat dan kursi pemerintahan digantikan oleh cicitnya Pangeran Mas Moch Arifin, Belanda berhasil memecah kesultanan menjadi dua. Keraton baru diberinama Keraton Kanoman yang dipimpin oleh Sultan Badridin (Sultan Anom I). Sedangkan Keraton Pakungwati kemudian disebut sebagai Keraton Kasepuhan.

3.2    Wujud Akulturasi dalam Keraton Kasepuhan
Soal spiritualis, keraton-keraton di Cirebon termasuk Keraton Kasepuhan adalah cerminan Islam yang lembut dan toleran. Hal ini lebih mirip sufisme yang melebur dengan aporisma Jawa. Ada sebuah tulisan menarik di Keraton Kanoman yang berbunyi, "Angga Yuwa Sira Maring Kaluhuran", yang kalau diartikan "Jika Anda ingin hidup mulia, ingatlah pada Yang Di Atas." Kata “Yang Di Atas” biasa digunakan dalam gaya bahasa Jawa yang ‘merunduk’ jika bicara soal Tuhan yang konsepnya transenden, atau sufisme yang jarang menggunakan sebutan "Allah" untuk menghindari personifikasi/memanusiakan/membendakan Tuhan.


 5






Di Keraton Kasepuhan akulturasi budaya sudah kian terasa ketika kita memasuki gerbang depan keratonnya. Gerbang itu terbuat dari bata merah bertingkat menyerupai pura yang ada di Bali, ukiran daun pintu gapuranya bergaya Eropa, pagar Siti Ingilnya dari keramik Cina, dan tembok yang mengelilingi keraton juga terbuat dari bata merah khas arsitektur Jawa.
Di halaman muka terdapat sepasang patung macan berwarna putih yang melambangkan bahwa  Kesultanan Cirebon yang agama resminya adalah agama Islam merupakan penerus dari Kerajaan Padjajaran yang menganut keyakinan Hindu. Unsur-unsur Eropa juga terlihat seperti meriam, serta furniture dan meja kaca tempat sultan menyambut tamu.
Memasuki ruang pertemuan sultan dan para menteri (bangsal Prabhayaksa) terlihat ukiran pada kursi, meja, dan lampu gantung yang menyerupai kerajaan Prancis di bawah dinasti Bourbon. Di belakang singgasana sultan terdapat sembilan kain berwarna yang melambangkan sosok para Wali Songo. Di sini tradisi Jawa bercampur dengan Eropa yang telah dilokalkan.
Keraton Kasepuhan memiliki beberapa bangunan yang dijadikan museum. Museumnya berisi benda-benda pusaka serta lukisan koleksi kerajaan. Termasuk juga alat-alat musik hadiah dari sultan Banten yang menunjukkan hubungan penguasa Cirebon dengan penguasa Banten pada saat itu yang sama-sama didirikan pada masa kejayaan penguasa-penguasa Islam di Jawa. Di dalam deretan perlengkapan alat musik tersebut, terdapat alat musik rebana peninggalan sunan Kalijaga. Di sini kita bisa melihat percampuran antara tradisi Arab dan Jawa berpadu dalam proses penyebaran agama Islam di Jawa pada masa itu.
Koleksi museum Keraton Kasepuhan lain yang menarik adalah kereta kuda, meriam portugis, tandu permaisuri dan relief kayu yang menggambarkan persenggamaan antara laki-laki dan perempuan yang melambangkan kesuburan. Dalam kaitan ini, kita bisa melihat bagaimana pengaruh tradisi Hindu-Budha dalam sejarah pra-kolonial Jawa masih bertahan di dalam era kekuasaan raja-raja Islam di Jawa. Meriam portugis yang menjadi bagian koleksi museum kraton kasepuhan juga menunjukkan bagaimana hubungan sultan Cirebon tersebut dengan kekuatan maritim Eropa yang mulai merambah jalur perdagangan rempah-rempah di Nusantara pada abad 16.






Koleksi penting lainnya dalam museum Keraton Kasepuhan adalah apa yang dikenal sekarang sebagai topeng Cirebon. Topeng ini adalah koleksi yang berasal dari periode Sunan Gunung Jati, mewakili sebuah cerita tentang bagaimana seni lokal digunakan sebagai alat penyebaran agama Islam di wilayah Jawa Barat, yang dapat dibandingkan dengan penggunaan medium wayang oleh Sunan Kalijaga di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dan peninggalan yang paling terkenal adalah kereta singa barong. Kereta kerajaan yang sudah berusia ratusan tahun ini mempunyai hiasan berupa Paksi Naga Liman. Hiasan tersebut merupakan perpaduan dari tiga binatang yang berbeda. Paksi sendiri adalah garuda, kemudian ular naga, dan liman yakni binatang gajah. Tiga jenis binatang yang menyim-bolkan dunia yang berbeda. Paksi melambangkan langit (dunia atas), sedangkan naga melambangkan air (dunia bawah). Sementara liman melambangkan bumi (dunia tengah). Jikalau dilihat dari mana asal binatang ini paksi berasal dari Mesir (Islam), naga adalah Cina (Budha), dan liman dari India (Hindu). Ketiga negara ini memang sangat erat hubungannya dengan Keraton Kasepuhan saat itu khususnya dalam perniagaan dan pertukaran budaya. Kereta ini saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.

3.1    Tradisi di Keraton Kasepuhan
Ada beberapa tradisi unik di Keraton Kasepuhan Cirebon yang secara rutin dilakukan setiap tahunnya. Berikut beberapa tradisi tersebut:
a)      Tradisi Cuci Piring Kuno
Menjelang malam puncak peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW (muludan), Keraton Kasepuhan memulai ritual mencuci piring-piring dan guci-guci kuno. Pencucian ini dilakukan di Bangsal Kaputren Keraton Kasepuhan. Benda-benda tersebut semuanya merupakan barang-barang kuno peninggalan Sunan Gunung Jati. Rinciannya yaitu 28 buah piring kecil, 7 buah piring besar, 2 buah guci besar, serta 2 buah tempat minyak.
Pencucian dilakukan di sebuah bak besar oleh para kaum, yakni para penjaga Masjid Agung Keraton Kasepuhan. Piring-piring dan guci yang telah dicuci kemudian dilap dengan kain putih bersih oleh para kerabat keraton.
7




Pada malam yang sama piring-piring dan guci tersebut digunakan sebagai tempat nasi beserta lauk pauknya, yang biasa disebut nasi rasul. Nasi rasul nantinya akan dibagikan kepada seluruh masyarakat yang hadir pada malam itu.
Karena hanya digunakan setahun sekali, piring-piring tersebut harus dicuci sebelum dipakai. Saat pintu bangsal tempat pencucian dibuka sebagai tanda proses pencucian sudah selesai, masyarakat beramai-ramai masuk untuk berebut air bekas cucian. Mereka masih percaya bahwa air bekas cucian benda-benda kuno itu memiliki khasiat.
a)      Ritual Pajang Jimat
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW berawal pada zaman Khalifah Sholahuddin Al Ayubi (1137-1193 M). Tujuannya agar umat Islam selalu meneladani Nabi Muhammad SAW. Pengaruh khalifah itu kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk Cirebon. Pada abad ke 15, Pangeran Cakrabuana (Walangsungsang) mengadopsi perayaan Maulid dengan disesuaikan dengan adat setempat. Peringatan ini dikenal dengan nama Panjang Jimat.
Puncak acara (pelal) Panjang Jimat diselenggarakan di 4 tempat, yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan dan Kompleks makam Sunan Gunung Jati. Rangkaian acara Panjang Jimat tidak hanya dihadiri warga Cirebon, tetapi juga dari daerah lain seperti Jawa Barat (Bandung, Sumedang, dll), Jawa Tengah (Pekalongan, Semarang, dll), Banten dan Jakarta. Pelal Panjang Jimat di Keraton Kasepuhan dan Kanoman tergolong paling ramai, mengingat simbol-simbol dan peninggalan Sunan Gunung Jati lebih banyak terdapat di 2 keraton tersebut. Di sana, ribuan orang berdesakan menyaksikan acara ritual sakral ini.
Adapun prosesi ritual Panjang Jimat di Keraton Kasepuhan yaitu, arak-arakan nasi tujuh rupa atau Nasi Jimat yang melambangkan hari kelahiran manusia. Diarak dari Bangsal Jinem yang merupakan tempat Sultan bertahta, ke masjid atau mushola keraton. Nasi Jimat itu diarak dengan pengawalan barisan abdi dalem yang membawa simbol-simbol sebagai lambang.
Barisan pertama ialah pembawa lilin, bertujuan sebagai penerang. Diikuti iring-iringan pembawa perangkat upacara seperti: manggaran, nadan dan jantungan (lambang kebesaran dan keagungan).


8




Kemudian iring-iringan pembawa air mawar dan kembang goyang, lambang air ketuban sebelum lahirnya jabang bayi dan usus atau ari-ari yang mengakhiri kelahiran. Disusul iring-iringan pembawa air serbat yang disimpan di 2 guci (lambang darah saat bayi lahir) dan 4 baki (lambang 4 unsur dalam diri manusia: angin, tanah, api dan air).
Setelah pasukan pengawal iring-iringan lengkap berkumpul di Bangsal Purbayaksa, putra mahkota P.R.A. Arief Natadiningrat atas izin Sultan Kasepuhan, memimpin arak-arakan menuju Langgar Agung. Arak-arakan yang keluar dari Bangsal Purbayaksa disambut di luar keraton oleh pengawal pembawa obor (perlambang Abu Thalib, paman Nabi menyambut kelahiran bayi Muhammad SAW pada malam hari). Setelah itu dibawa ke mushola. Di mushola, Nasi Jimat dibuka bersama dengan sajian makanan lain termasuk makanan yang disimpan di 38 buah piring pusaka peninggalan Sunan Gunung Jati.
Di mushola dilakukan shalawatan serta pembacaan kitab Barjanzi hingga tengah malam (pukul 24.00 WIB) dipimpin imam Masjid Agung Sang Ciptarasa Keraton Kasepuhan.
Sebelum arak-arakan membawa Nasi Jimat tujuh rupa dimulai, Sultan Kasepuhan, Sultan Sepuh XIII, Maulana Pakuningrat memberi wejangan kepada para abdi dalem dan tamu undangan. Intinya, Panjang Jimat merupakan sarana memperpanjang ingatan umat Islam terhadap Nabi Muhammad SAW dan kalimat Syahadat. Berasal dari kata Panjang yang artinya memperpanjang (melestarikan) dan Jimat atau barang siji (satu) yang harus dimatmat atau dirawat (dijaga) yaitu kalimat Syahadat.
Ritual Panjang Jimat merupakan puncak dari seluruh rangkaian kegiatan merayakan Maulud Nabi Muhammad SAW. Berbagai kegiatan ritual tradisional juga digelar sebelumnya, diantaranya pencucian jimat di Keraton Kanoman dan Keraton Kasepuhan.
Uniknya, air bekas cucian jimat atau benda pusaka itu menjadi rebutan warga yang mengharap berkah. Di Keraton Kanoman, air bercampur bunga setaman bekas mencuci Gong Sekati di Masjid Agung Kanoman menjadi rebutan warga yang meyakini membawa berkah. Itulah sebabnya, warga datang dengan membawa tempat menampung air seperti: gayung, botol mineral dan ember. Begitu pencucian  

9




benda-benda selesai, ratusan warga yang berkumpul menyerbu kolam yang digunakan mencuci benda bersejarah itu. Rebutan air bekas cucian yang dilakukan pengunjung berlangsung seru. Pria, wanita, dewasa atau anak-anak semua berebut air kolam.
Mereka yang mendapatkan air akan terpancar rasa bahagia di wajahnya. Mereka yang mendapatkan air ada yang langsung diminum. Ada juga yang dibilaskan ke tubuh. Mereka percaya air tersebut memiliki manfaat.
Sementara itu, Ki Nurteja, Dalang Keraton Kanoman mengungkapkan kegaiban yang sering terjadi dalam acara Panjang Jimat. Dikisahkan, acara Panjang Jimat yang dihadiri ribuan orang itu ternyata juga dikunjungi makhluk gaib. Makhluk itu datang dan bercampur baur dengan manusia. Makhluk-makhluk gaib itu tergolong jin muslim yang sudah di-Islam-kan oleh Pangeran Cakrabuwana dan Kanjeng Sunan Gunung Jati. Rupanya makhluk gaib itu juga ikut meramaikan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.  Menurut Ki Nurteja, dirinya sering mendengar cerita dari pengunjung yang datang ke acara Panjang Jimat. Mereka mengaku bertemu dengan sekelompok ‘orang’ yang berpakaian aneh dan berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti.

3.1    Kesultanan Kasepuhan
Selama lebih dari tiga belas generasi, Kesultanan Kasepuhan telah diperintah oleh para sultan yang bergelar Sultan Sepuh. Berikut urutan silsilah Kesultanan Kasepuhan:
1.            P. Syamsudin Martawijaya (Sultan Sepuh I) 1662 - 1697
2.            P. Djamaluddin (Sultan Sepuh II) 1697 - 1720
3.            P. Djaenudin Amir Sena I (Sultan Sepuh III) 1720 - 1750
4.            P. Djaenudin Amir Sena II (Sultan Sepuh IV) 1750 - 1778
5.            P. Syafiudin / Slt. Matangadji (Sultan Sepuh V) 1778 - 1784
6.            P. Hasanuddin (Sultan Sepuh VI) 1784 - 1790
7.            P. Djoharuddin (Sultan Sepuh VII) 1790 - 1816
8.            P. Radja Udaka (Sultan Sepuh VIII) 1816 - 1845
9.            P. Radja Sulaeman (Sultan Sepuh IX) 1845 - 1890
10.       P. Radja Atmadja (Sultan Sepuh X) 1890 - 1899
11.       P. Radja Aluda Tajul Ariffin (Sultan Sepuh XI) 1899 - 1942

10




1.            P. Radja Radjaningrat (Sultan Sepuh XII) 1942 - 1969
2.            P. R. A. H. Maulana Pakuningrat SH (Sultan Sepuh XIII) 1969 - sekarang
3.            P. Arif Natadiningrat SE (Sultan Sepuh XIV) kandidat




















11





BAB IV
PENUTUP

4.1    Kesimpulan
Berdasarkan materi-materi yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesumpulan bahwa Keraton Kasepuhan adalah keraton tertua dan termegah di kota Cirebon. Pada zaman dulu merupakan pusat pemerintahan serta pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Meskipun beragama resmi Islam, namun tidak hanya kebudayaan Islam yang terdapat di Keraton tersebut. Karena letak kota Cirebon yang strategis dan pada saat itu merupakan kota pelabuhan tempat bersinggahnya kapal-kapal dari berbagai negara, maka terjadilah percampuran kebudayaan dalam kehidupan masyarakat setempat.
Pengaruh akulturasi kebudayaan yang paling terlihat di Keraton Kasepuhan adalah budaya Jawa, Timur Tengah, China, India, dan Eropa. Dari berbagai kebudayaan tersebut Keraton Kasepuhan mempunyai banyak peninggalan kuno yang sekarang disimpan di museum keraton. Selain itu Keraton Kasepuhan masih memegang teguh tradisi leluhur yang dilaksanakan setiap tahunnya, seperti cuci piring kuno dan Pajang Jimat.
Sebagai Keraton tertua di kota Cirebon, Keraton Kasepuhan telah diperintah oleh lebih dari tiga belas generasi. Dan sultannya bergelar Sultan Sepuh.

4.2    Saran
Sebagai langkah akhir dari penulisan ini, penulis ingin menyampaikan saran yang mudah-mudahan dapat berguna bagi masyarakat. Adapun saran tersebut sebagai berikut:

 12   



 
·              Cirebon merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki banyak kebudayaan baik yang berwujud tradisi kebiasaan maupun dalam bentuk benda-benda kebudayaan. Maka dari itu, sudah menjadi kewajiban kita sebagai warga negara untuk menjaga dan memelihara kebudayaan-kebudayaan tersebut agar tetap ada dan tidak hilang atau bahkan diklaim oleh negara lain sebagai kebudayaannya.
·              Keraton Kasepuhan yang telah berdiri ratusan tahun lalu menunjukkan kepada kita bahwa pluralisme bukanlah halangan untuk hidup dalam perbedaan, malah dapat menciptakan sesuatu yang indah. Kita sebagai manusia moderen seharusnya dapat meneladani hal itu dan diharapkan tidak mudah terpancing dengan hal-hal yang berbau sara.
·              Sebagai daerah dengan banyak kebudayaan, keraton-keraton Cirebon masih begitu teguh menjaga tradisi-tradis leluhur serta menjalankan ritual-ritual kuno. Masyarakat setempat pun dengan rutin turut mengikutinya, dan beberapa meyakini hal-hal tersebut dapat memberikan berkah serta manfaat bagi kehidupan mereka. Penulis menghimbau agar masyrakat tidak berlebihan dalam meyakini hal tersebut, laksanakanlah ritual-ritual itu sebagai tradisi dan tetap yakin bahwa berkah dan manfaat hanya berasal dari Yang Di Atas. Para pembesar keraton beserta alim ulama juga diharapkan untuk selalu mengingatkan masyarakat agar tidak mudah meyakini sesuatu yang dapat mengarah kepada kemusyrikan, mengingat mayoritas masyarakat Cirebon adalah muslim.











13




DAFTAR PUSTAKA

Argadikusuma, E. Nurmas & Wosa Karmita. Baluarti Kraton Kasepuhan Cirebon










14 

2 komentar:

Twitter Bird Gadget